Friday 28 October 2016

KESEMPATAN TERAKHIR


Roy meletakkan telunjuknya di jendela dan memainkan embun yang menempel disana. Hujan masih sangat deras di luar. Seharusnya hari ini Roy sedang menaiki motor keliling kota bersama kakaknya. Kakak Roy bernama Alex. Lelaki jangkung yang baru saja memenangkan lomba baseball dan mendapat hadiah motor dari ayahnya.

Roy adalah saudara tiri Alex. Sejak usia 6 tahun Roy ditinggalkan oleh ayahnya. Kemudian Ibu Roy menikah kembali dengan Ayah Alex (Mr. Jhon) tiga tahun setelahnya. Sejak itu mereka tinggal bersama. Selama tinggal bersama Mr. Jhon yang saat ini dipanggil papa oleh Roy, kehidupannya sangat menyenangkan. Terlebih karena memiliki saudara yang sangat baik seperti Alex.

“Sudahlah Roy cepat tidur. Besok kamu juga harus sekolah kan?”. Suara Alex memecah lamunan Roy di pinggir jendela.

Roy hanya terdiam sambil merebahkan tubuhnya ke kasur yang di penuhi buku-buku bacaan. Alex masih berdiri di depan pintu kamar dan tersenyum kecil.

“Besok pulang sekolah kakak yang jemput. Kita langsung keliling kota naik motor kakak, ok?”. Ucap Alex membuat Roy tersenyum kecil sambil menoleh ke arah kakaknya.

“OK”. Sahut Roy lantang. Alex kemudian menutup pintu kamar Roy dan menuju kamarnya yang berada tepat di depan kamar Roy.

Malam itu mata Roy sulit sekali untuk terpejam. Meski udara yang sejuk akibat hujan lebat di luar sana merayunya untuk terlelap. Namun pikirannya masih menerawang entah kemana. Diliriknya jam dinding di sebelah kanan tempat tidurnya. Sudah jam 1 malam.

Roy mencoba memejamkan matanya rapat-rapat. Ditariknya selibut panjang itu hingga menutupi wajahnya. Terasa pengap namun sedikit hangat rasanya.

Brukkk.... Duukkk....

Aaaaahhhh....

Teriakan keras terdengar dari lantai dasar. Mata Roy tiba-tiba terbelalak kaget. Sontak kemudian Roy bangkit dari tempat tidurnya. Roy menoleh ke arah pintu kamarnya. Sambil menelan air liurnya. Nafasnya memburu tak karuan.

Kemudian Roy turun menapakkan kakinya di lantai kamar. Didekatinya pintu kayu coklat itu. Diputar engselnya perlahan agar tak mengeluarkan bunyi sedikitpun.

Kreekk

Pintu tua itu tetap saja mengeluarkan bunyi meski pelan. Dibukanya pintu itu perlahan. Hampir saja Roy berteriak kaget melihat seseorang berada di depannya. Ternyata Alex yang sedang menggenggam tongkat baseball miliknya di sebelah kanan. Sementara telunjuk tangan kirinya ia tempelkan di bibir. Seperti ingin memberi isyarat kepada Roy agar tidak bersuara.

Roy hanya diam mematung di dekat pintu kamarnya sambil menutup mulutnya dengan kedua telapak tangannya rapat-rapat. Mata Roy semakin terbelalak  melihat Alex mencoba keluar dari pintu kamarnya secara perlahan sambil tetap menggenggam tongkat baseball di tangannya. Roy menggeleng seolah-olah melarang Alex agar tidak pergi meninggalkannya sendirian. Namun Alex hanya meletakkan telunjuknya di bibir kemudian pergi menuruni anak tangga.

***

Ruang tengah masih tampak sepi saat Alex sudah memijakkan kakinya di anak tangga paling dasar. Namun pintu depan sudah terbuka lebar. Hujan masih sangat deras mengguyur di luar sana. Udara dingin sangat menusuk terasa malam itu. Namun keringat bercucuran membasahi wajah Alex yang tegang. Tangannya bergetar mengangkat tongkat baseball itu tinggi-tinggi.

Alex berjalan melewati ruang tengah menuju kamar orang tuanya. Lampu kamar mereka tampak terang benderanag. Tampak beberapa bayangan orang di depan pintu kamar Mr. Jhon dan istrinya.

“Aku bilang diam”. Salah seorang lelaki yang paling besar berteriak kepada wanita di atas kamar tidur.

Lelai besar itu mengenakan penutup wajah mengikat kedua tangan istri Mr. Jhon di ujung dipan kamar tidur. Mulut wanita itu di tutup lakban kuat-kuat agar tidak berteriak. Wajahnya ditutupi kantong hitam yang hanya dapat membuat wanita itu menggeleng-gelengkan kepalanya.

Mr. Jhon terdiam menunduk berlutut di hadapan lelaki yang mengenakan penutup wajah berwarna coklat. Matanya berair menahan air mata melihat istrinya terikat di atas tempat tidurnya. Sebuah pistol hitam menyentuh pelipis Mr. Jhon.

“Katakan dimana berkas-berkas itu?” Lelaki di depan Mr. Jhon menyentak keras. Namun Mr. Jhon masih tidak bergeming.

“Cepat katakan dimana dasar tua bangka”. Lelaki itu kemudian menendang perut Mr. Jhon. Tubuh Mr. Jhon tersungkur di ujung ruangan. Nafasnya memburu dan keringat bercucuran di wajahnya.

***

Duugggg

“Aaaaahhh”. Lelaki di depan pintu berteriak kesakitan. Darah bercucuran keluar dari kepalanya.

Alex hanya terdiam sambil menganga melihat lelaki itu tergeletak tak bergerak di hadapannya. Tangannya bergetar menggenggam tongkat baseball yang di ujungnya sudah penuh darah.

Alex memasuki kamar orang tuanya dan dilihatnya lelaki bertubuh besar mengikat kaki ibunya. Sementara lelaki bertutup kepala coklat sedang menodong kepala ayahnya di ujung ruangan. Nafas Alex memburu hebat. Jantungnya berdetak tiga kali lipat dari biasanya.

Lelaki berbadan besar itu kaget melihat Alex di depan pintu yang sedang menggenggam tongkat baseball. Kemudian lelaki itu tersenyum sinis sambil mendekati Alex.

Tubuh alex masih berdiri tegak meski nafasnya memburu sangat cepat. Di genggamnya tongkat baseball itu kuat-kuat. Kemudian Alex mengayunkan tongkat baseball itu sambil berteriak ke arah lelaki bertubuh besar di hadapannya.

Tongkat baseball mengayun keras di dekat kepala lelaki itu. Namun hanya dengan satu gerakan lelaki itu menangkap pukulan tongkat baseball Alex. Mata Alex terbelalak melihat apa yang di lakukan lelaki itu. Kemudian dengan sekali tarikan tongkat baseball di tangan Alex sudah terlempar jauh. Lalu lelaki bertubuh besar itu menendang kepala Alex hingga membuat Alex meringis kesakitan di depan pintu.

Di tariknya kepala Alex masuk ke dalam kamar. Lelaki yang mengenakan penutup coklat itu beranjak menuju hadapan Alex. Ditodongkannya pistol ke arah tubuh Alex.

“Sekarang katakan dimana berkas itu kau sembunyikan?” Suara lelaki itu semakin keras.

Mr Jhon masih membisu. Wajahnya tampak kebingungan melihat anaknya tertunduk lemas di hadapannya.

“Baiklah akan ku katakan. Tapi lepaskan dulu istri dan anakku”. Ucap Mr. Jhon dengan wajah memelas. Air matanya sudah tak dapat terbendung.

***

Dorrr

Tubuh Roy lemas tak bergerak mendengar letusan peluru di lantai dasar. Tubuhnya bergetar hebat. Nafasnya memburu cepat. Di buka pintu kamarnya perlahan. Kemudian masuk menuju kamar Alex. Di ambilnya telefon genggam milik Alex untuk mencoba menghubungi tetangganya. Kemudian Roy menekan beberapa tombol.

“Hallo”. Suara orang tua terdengar dari telefon itu.

“Hallo Mr. Tan. Tolong kami. Di rumahku ada orang jahat”. Ucap Roy sambil mencoba memelankan suaranya.

***

“Arrghhh”.

Alex mengerang kesakitan saat lengan kanannya tertembak peluru.

“Alex!!!”. Mr. Jhon beranjak mendekati Alex yang kesakitan. Namun lelaki bertubuh besar menendangnya hingga membuat Mr. Jhon kembali tersungkur di pojok ruangan.

“Ini kesempatan terakhirmu Jhon. Cepat serahkan berkas itu atau kepala anakmu akan berlubang”.

Lelaki berpenutup wajah coklat itu menodongkan ujung pistol ke pelipis kanan Alex. Mr. Jhon bangkit bergegas membuka lemari pakaiannya yang besar. Di balik baju-bajunya terdapat brankas rahasia yang memiliki kode-kode unik. Diambilnya beberapa berkas dari dalam brankas itu.

Mr. Jhon bergerak menyerahkan berkas itu sambil menunduk. Lelaki yang mengenakan tutup kepala berwarna coklat itu mengecek beberapa isi berkas tersebut. Kepalanya mengangguk tanda sepakat. Kemudian lelaki itu membuka penutup kepala yang ada di wajahnya.

Wajah Mr. Jhon sontak menegang. Matanya terbelalak melihat wajah lelaki itu.

“Kau... Kau...”. Wajah Mr. Jhon meradang sambil menunjuk wajah lelaki di dahadapannya.

Wiiuu wiiuu wiiuu

Suara sirine terdengar dari luar rumah Mr. Jhon. Kedua lelaki itu panik bukan main.

Dorrr

Lelaki berpenutup kepala coklat itu menekan pelatuk pada pistolnya. Kepala Mr. Jhon tertembus peluru yang keluar dari pistol tersebut. Selang beberapa waktu beberapa polisi memasuki kamar itu. Di tangkapnya kedua lelaki bertutup kepala itu dari kamar Mr. Jhon.

Roy hanya terdiam di dasar anak tangga ketika melihat polisi menggiring lelaki bertubuh besar keluar dari rumahnya. Kemudian salah seorang lagi menyusul di belakang lelaki bertubuh besar itu. Mata Roy tak berkedip melihat wajah lelaki itu. Lelaki itu berhenti sejenak di hadapan Roy sambil tersenyum ramah.

“Ayah”. Ucap Roy lirih.

Kemudian polisi menggiring lelaki itu pergi.
Share:

Wednesday 5 October 2016

Goreskan Aku Lagi




Aku terdiam di ujung meja berwarna putih. Menatap sang rembulan dari balik jendela di hadapanku. Wajahku sudah bosan menunggu seorang pria datang membuka pintu hitam itu kemudian menyentuh tubuhku.

Ku pandangi jam dinding di samping jendela, sudah pukul 8 malam. Seharusnya dia sudah pulang sedari tadi. Mataku sudah terkantuk namun tetap terjaga menantinya dengan setia disini.
Duakkk

Pintu di ujung sana dibanting sangat keras. Pria yang ku tunggu sudah tiba di hadapanku. Wajahnya tampak sangat gembira. Sambil sesekali melompat-lompat kegirangan.

Kemudian pria itu duduk di dekat meja tempatku berada. Membuka ransel hitamnya dan mengeluarkan benda hitam berbentuk persegi.

"Wah... Laptop hadiah dari ayah sangat bagus". Pria itu tersenyum lebar sambil memeluk benda hitam di tangannya.

"Hei... Siapa kau?". Tanyaku pada benda hitam berbentuk persegi itu.

Benda itu hanya diam melirikku dengan tatapan sombong. Kemudian tersenyum sinis seolah menganggapku remeh.

Wajah pria di depanku masih tersenyum sambil membuka benda hitam di hadapannya. Benda hitam itu terbuka mengeluarkan cahaya dan suara yang aneh.

"Wah... Aku bisa semakin semangat menulis sekarang". Ucap pria itu dengan girang.

Wajahku langsung gembira mendengar ia mengatakan kata menulis. Kemudian pria itu menatapku dengan tajam. Wajahku memerah, malu, sekaligus bahagia di pandangnya begitu.
Diambilnya tubuhku ringan sambil dilihatnya sebentar.

"Ah... Aku sudah tak membutuhkanmu pena tua". Ucap pria itu di depan wajahku.

Kemudian pria itu melemparku jauh hingga tersungkur di bawah kasur tempatnya tidur.

"Apa yang kau lakukan?". Teriakku pada pria itu. Namun pria itu diam dan kembali tersenyum memandang benda persegi di hadapannya.

Benda persegi itu tersenyum sinis melihatku tersungkur di bawah kasur.

"Ha ha ha... Namaku laptop. Kau sudah tak berguna lagi pena tua. 

Sekarang zaman sudah canggih. Pria ini sudah tak perlu menggunakan cara kuno darimu lagi". Hardik benda persegi yang mengaku dirinya laptop itu padaku.

Tubuhku membeku tak dapat berbuat apa-apa di bawah kasur pengap ini. Berteman dengan debu tebal dan sarang laba-laba yang terpajang di sana-sini.

Aku hanya dapat menatap pria itu bermain gembira dengan laptop di hadapannya. Berharap suatu saat dia memungut tubuhku lagi. Kemudian menggoreskan tubuhku merangkai kata-kata indah yang selalu membuatnya terjaga hingga pagi.

-

Riowaldy.


Share: